
Dberita.ID, Langkat – Perambahan hutan mangrove terus berlangsung di wilayah Desa Tapak Kuda, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Sumut. Seyogianya hutan tersebut dilestarikan, agar flora dan fauna tetap lestari, dan kemiskinan masyarakat nelayanpun berkurang.
Namun nyatanya, alih fungsi hutan terus itu berlangsung, seolah pemerintah gagal, khususnya bagi pemerintah di Kabupaten Langkat. Perusakan hutan akan berdampak pada lingkungan, diantaranya punahnya flora dan fauna, yang selanjut akan menabah jumlah kemiskinan bagi nelayan di Kabupaten Langkat, khususnya di wilayah Kecamatan Tanjung Pura, yakni di Desa Tapak Kuda.
Padahal program pemerintah dalam menghapus kemiskinan ekstrem di wilayah pesisir pantai menjadi prioritas di kepemimpinan Presiden RI Joko Widodo. Namun nyatanya, di Kabupaten Langkat akan gagal. Meskipun terdapat program pemerintah pusat dalam melakukan reboisasi hutan di Langkat.
Faktor pembiaran perusakan hutan (perambahan hutan) dengan cara pembiaran ini, sama saja membuat kemiskinan nelayan di wilayah pesisir pantai di Langkat akan bertabah.
Pada umumnya juga, Fungsi Mangrove antara lain sebagai peredam gelombang dan badai, pelindung abrasi serta penahan lumpur.
Kawasan hutan manrove juga sebagai daerah tempat ikan-ikan mencari makan, daerah pemijahan berbagai jenis ikan. Pemasok larva ikan, udang dan lain-lain.
Informasi dirangkum awak media dari para nelayan menyebutkan, pada umumnya, ikan-ikan akan bertelur didalam perairan hutan mangrove yang memiliki kondisi air pasar surut. Namun setelah dirambahnya hutan mangrove dan dilakukan penutupan anak paluh, serta melingkup lahan menggunakan alat berat (excavator), maka punahlah biota laut dan hewan-hewan yang bersarang dikawasan hutan mangrove tersebut.
Para masyarakat nelayan di Desa Tapak Kuda menyebutkan, perambahan/perusakan hutan dibelakangi oleh pengusaha per orangan untuk menguasai areal hutan mangrove yang nantinya dialihfungsikan ketanaman perkebunan kelapa sawit.
Mapia-mapia tanah banyak mengatas namakan masyarakat nelayan. Nama-nama masyarakat nelayan hanya dicatut, hanya sebagai data diatas kertas, sebagai indentitas dalam permohonan kelompok dalam penciptaan pelestarian hutan dan penciptaan pengentasan kemiskinan di wilayah pesisir pantai.
Kami masyarakat nelayan di desa ini, kini mulai resah lagi, karena adanya perambahan hutan mangrove, dan tak tau kemana lagi mengadu. Apakah pihak KPK RI mau menyahuti keluhan masyarakat seperti kami, sebut Rudin dan Yan, bukan nama asli warga Desa Tapak Kuda ini, kepada awak media ini, Kamis (20/4/2023) di Tanjung Pura.
Meskipun keresahan nelayan tradisionil sudah banyak didengar orang terkait perusakan kawasan hutan, baik itu pada media masa, apakah media cetak, elektronik, media online, hingga di Medssos (Media sosial) seperti facebook dan lainnya, namun saja, belum ada keseriusan tegas intansi terkait, untuk menghentikan perambahan hutan mangrove di Tanjung Pura, khusus nya di Desa Tapak Kuda.
Kami masyarakat nelayan di Desa Tapak Kuda berharap besar, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI (Kemen LHK-RI) di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo bisa menindak tegas pelaku perambahan hutan mangrove dan orang-orang yang terlibat didalam kerusakan lingkungan di kawasan pesisir pantai di Langkat, ucap mereka.
Mereka juga mengatakan, Pemerintah Langkat untuk serius dalam melestarikan hutan dan menjaga hutan, agar perekonomian masyarakat nelayan dapat meningkat dan sejahtera. Sebab, dengan adanya perambahan hutan mangrove akan berdampak pada tarap kemajuan kehidup bagi nelayan.
Saat ini kami sudah sulit untuk mendapat ikan-ikan sebagai penghasil ekonomi di keluarga kami, dikarenakan, sudah banyak punah tempat-tempat nelayan mencari/ menangkap ikan.
Dulu hutan masih ada dan asri, kami dulu bisa mancing ikan, membubu ikan hingga menjala ikan dipaluh-paluh, namun saat ini sudah tidak banyak lagi tempat seperti itu lagi.
“Kami nelayan harus ketengah lautan mencari ikan, itupun kami sebagai nelayan pekerja bukan sebagai nelayan pemilik usaha. Hasil dari penangkapan ikan kearah tengah laut pun juga terkadang tidak mencukupi, dibandingkan biaya kos sekali melaut,” sebutnya, seraya mengatakan, banyak nelayan tidak memiliki boat besar untuk melaut ketengah. (Red)
Editor: Reza Fahlevi