Dberita.ID, Langkat — Sejarah singkat tentang keberadaan Orang Rao di Langkat dikutip dari berbagai sumber, terutama berkaitan dengan era Kesultanan Langkat. Drs. Abdul Rahman, M.Si., salah satu tokoh masyarakat Rao di Langkat, Pada Selasa (29/4/2025) di Tanjung Pura, menjelaskan bahwa keberadaan orang Rao di Langkat berkaitan erat dengan peristiwa besar di tanah asal mereka.
Pada masa itu, arus perantauan dari Nagari Kota Rajo dimulai sejak awal gerakan Kaum Padri di Tanah Rao. Arus ini berlanjut hingga masa akhir perjuangan Tuanku Rao melawan penjajah Belanda.
Berdasarkan dari beberapa sumber yang kutip, termasuk dari Hamzah Mahmud, Tanjung Pura 2013 (almarhum), dan lainnya, menyebutkan, pada masa kolonial Belanda, para perantau dari Nagari Koto Rajo memilih dua jalur utama:
– Arah Timur, melalui jalur Sungai Rokan ke Selat Malaka.
– Arah Utara, melalui jalan darat melintasi Padang Lawas menuju Sumatra Timur.
Arus ke arah timur mulai ramai sejak dekade 1790-an hingga 1830-an. Sementara arus ke arah utara meningkat setelah Belanda menguasai daerah Rokan Hulu dengan jatuhnya Benteng Dalu-Dalu pada 28 Desember 1838 (mengacu pada catatan Belanda di Wikipedia). Kemudian arus arah ke utara mulai meningkat dari tahun 1840-an hingga 1930-an.
Perantau yang menempuh jalur timur kemudian membentuk komunitas-komunitas basis di pesisir Sumatra Timur, seperti di Hamparan Perak, Medan, Kota Pati (Tanjung Pura, Langkat), dan Seruway (Aceh Timur). Sementara itu, kelompok yang menempuh jalur utara berbaur dengan komunitas jalur timur dan membangun permukiman di daerah-daerah Kesultanan Melayu seperti Serdang, Deli, dan Langkat.
Sejak 1840-an, setiap kelompok perantau biasanya dipimpin oleh tiga tokoh: seorang mualim (pemuka agama), panglima (pemimpin perjalanan), dan seorang kepala kelompok tabib. Struktur kepemimpinan ini bertujuan memastikan kelancaran dan keselamatan perjalanan mereka.
Alasan Kepergian Orang Rao
Tiga alasan utama mendorong orang Rao meninggalkan kampung halaman:
– Ketidaksetujuan terhadap Kaum Padri dalam pengelolaan adat budaya Nagari (sekitar 1790-an).
– Penolakan terhadap penjajahan Belanda di Tanah Rao (mulai 1830-an hingga 1930-an).
– Mencari masa depan yang lebih baik bagi keturunan dan menghindari keterbatasan ekonomi di kampung halaman.
Integrasi di Langkat
Kedatangan orang Rao memperkaya keberagaman budaya di Langkat. Setelah kedatangan Syekh Haji Abdul Wahab Rokan, masyarakat setempat mulai memahami perbedaan karakter dan budaya orang Rao dengan Minangkabau lainnya. Kesultanan Langkat pun memberi kepercayaan kepada orang Rao untuk memegang jabatan-jabatan penting, seperti kepala perpajakan, kepala tukang masak, kepala kebersihan.
Permukiman mayoritas orang Rao di masa lalu tersebar di Pangkalan Brandan, Pasar Rawa, Gebang, Payak Perupuk-Tanjung Pura, serta sebagian wilayah Stabat, Selesai, dan Kuala. Di Kota Binjai, komunitas Rao menetap di Kampung Mencirim, Berengam, Simpang Tanjung Jati, Kampung Binjai, Balai Batak/Kampung Kartini, Kampung Setia, dan Kampung Rambung.
Berdasarkan cerita turun-temurun, Kampung Mencirim diyakini sebagai komunitas Rao tertua di Binjai, diikuti oleh Berengam dan Simpang Tanjung Jati.
Budaya dan Kehidupan Sosial
Keturunan perantau Rao di Langkat dan Binjai banyak berprofesi sebagai pegawai Kesultanan, wiraswasta, guru agama, petani, dan pekerja profesional lainnya. Hubungan silaturahmi mereka dengan kampung halaman Nagari Kota Rajo maupun keturunan Rao di Malaysia masih terjaga hingga kini.
Orang Rao membawa budaya matrilineal dalam kehidupan keluarga mereka. Namun, di tanah rantau, sistem adat asli Nagari tidak sepenuhnya dipraktikkan. Mereka mengedepankan prinsip “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”, beradaptasi dengan budaya Melayu setempat.
Hal ini membuat integrasi mereka lebih mudah, dengan penekanan kuat pada pendidikan agama Islam, seni, dan keterampilan hidup.
Ciri-ciri Adat dan Kebiasaan Masyarakat Rao pada Masa Kesultanan Langkat
Mengurus Diri
– Rajin bersuci dan menjaga kebersihan diri (mandi dengan kain basahan, gosok gigi dengan daun-daunan).
– Berpakaian sopan, menggunakan kain sarung dan penutup kepala (selendang) untuk wanita.
– Taat beribadah, menjaga penampilan, serta memotong kuku dan merapikan rambut.
Adat Perkawinan
– Tradisi meminang dengan tanda, berinai, berandam (merapikan rambut/bulu wajah).
– Mengadakan tepung tawar di masing-masing rumah calon mempelai.
– Prosesi silat persembahan dan penyambutan dengan marhaban saat pengantin pria tiba.
– Setelah pesta, dilakukan acara mandi-mandi (seperti tradisi bedimbar).
Berkeluarga
– Setelah menikah, pasangan baru tinggal di rumah orang tua istri untuk dibimbing dalam kehidupan rumah tangga.
– Istri diajari mengurus suami, merawat diri, mengasuh anak, dan mengatur rumah tangga.
Sekedar catatan bagi pembaca, masyarakat Rao di Langkat telah menjadi bagian penting dari keragaman budaya Melayu di Sumatra Utara. Mereka membawa serta nilai-nilai keislaman yang kuat, adat istiadat, serta semangat kerja keras yang diwariskan kepada generasi penerusnya.
Informasi yang dirangkum oleh awak media menunjukkan beberapa bukti keberadaan orang Rao di wilayah Langkat pada masa Kesultanan Langkat, khususnya di Kecamatan Tanjung Pura. Di antaranya adalah makam seorang alim ulama orang Rao yang terletak di Jalan Sudirman–Jalan Masjid Azizi, Kota Tanjung Pura, dan Rumah Toko (Ruko). Selain itu, terdapat Tempat Pemakaman Umum (TPU) orang Rao terbesar di Langkat yang berada di Desa Paya Perupuk, Tanjung Pura. Di desa yang sama juga terdapat sebuah masjid—yang kini berfungsi sebagai musala—meskipun saat ini musala tersebut tidak lagi aktif digunakan.
Penulis: Reza Fahlevi
Editor: Reza Fahlevi
Sumber: Drs. Abdul Rahman, M.S.i, (Tokoh Masyarakat Rao di Gebang).